Mengapa Orang Papua Minta Merdeka?
14 November 2012 | 15:35
Permasalahan Papua dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah terjadi sejak permulaan integrasi
Papua ke dalam NKRI. Proses integrasi yang dipaksakan melalui penentuan
pendapat rakyat (PEPERA) pada tahun 1969 sesungguhnya tidak adil karena hanya
melibatkan 1.045 orang. Dari jumlah tersebut tidak semuanya orang Papua. Bahkan
ironinya, hampir semua peserta PEPERA dikondisikan untuk memilih bergabung
dengan NKRI.
Setelah diintegrasikan fase
berikutnya adalah operasi militer dan intelejen untuk menghancurkan rakyat
Papua yang berideologi lain. Kelompok-kelompok masyarakat yang mencoba
menyuarakan keadilan di atas tanah Papua dihancurkan secara sistematis. Atas
nama keutuhan NKRI, pembunuhan, penghilangan dan pemerkosaan terhadap rakyat
Papua dilegalkan.
Fase selanjutnya adalah
eksploitasi sumber daya alam dan transmigrasi. Sumber daya alam, terutama hasil
hutan, hasil laut, tambang dan minyak bumi dikeruk. Pada waktu yang bersamaan,
dengan alasan demi pemerataan penduduk, ribuan orang didatangkan ke tanah Papua
melalui program transmigrasi.
Eksploitasi sumber daya alam di
tanah Papua terus berlangsung, sementara manusia Papua terabaikan bahkan
terlupakan. Akibatnya, setelah 43 tahun (1969-2012) manusia Papua tetap
terbelakang. Bahkan penduduk dan orang Papua yang berdiam di tanah ini tercatat
sebagai manusia termiskin di Indonesia. Ironi yang tidak dapat diterima dengan
akal sehat, sebab Papua terkenal sebagai pulau terkaya di Indonesia bahkan di
seantero jagad, tetapi penduduknya hidup miskin.
Untuk mengukur tingkat
kesejahteraan rakyat Papua, kita tidak perlu menggunakan aneka teori sosial,
sebab ke mana mata memandang, pasti dijumpai orang Papua yang hidup melarat.
Perumahan kumuh, tanpa fasilitas yang memadai, pendidikan dan kesehatan yang
terbelakang. Akibatnya mata rantai kebodohan terus berlanjut. Dan lebih tragis
lagi kondisi kesehatan orang Papua yang sangat memprihatinkan. Kehidupan
ekonomi orang Papua berada jauh di bawah kaum imigran yang menguasai semua
sektor ekonomi.
Jurang kesenjangan sosial dan
ekonomi yang sangat dalam tentu menimbulkan gesekan yang sering digiring ke
ranah politik. Setiap kali orang Papua mengekspresikan kekecewaan atas berbagai
bentuk ketidakadilan yang dialaminya, selalu diberi stigma makar.
Orang Papua pantas berteriak dan
memperjuangkan nasibnya karena setelah sekian puluh tahun digabungkan dengan
Indonesia, mereka tidak mengalami kemajuan apa pun. Pembangunan yang dilakukan
di Papua dinikmati oleh kaum imigran yang tinggal di kota-kota di Papua.
Sementara orang Papua yang semakin termarginal tidak menikmati apa pun.
Rasa tidak puas akan ketimpangan
pembangunan dan lambannya upaya mengentaskan kemiskinan bagi orang Papua
menimbulkan aneka gejolak. Namun, sayangnya, setiap gejolak yag muncul selalu
ditafsirkan sebagai upaya untuk memisahkan diri dari NKRI. Entah mengapa,
Indonesia selalu takut dan alergi terhadap tuntutan orang Papua untuk
memisahkan diri? Kalau pembangunan berjalan lancar, kalau saja orang Papua
diperhatikan, kalau saja derajat dan martabat hidup orang Papua dihormati,
tentu tidak ada suara-suara merdeka/referendum. “Ngapaian orang Papua berteriak
merdeka, kalau mereka sudah sejahtera?” Justru keterpurukan hidup yang mereka
alami selama ini mendorong mereka untuk memperjuangkan nasibnya yang tidak
kunjung berubah.
Sampai saat ini, pembangunan
untuk Papua belum memadai. Aneka kebijikan dan peraturan yang dibuat untuk
menyejahterakan orang Papua belum mampu membawa perubahan bagi hidup orang Papua.
Mengapa? Hal yang tidak dapat disangkal bahwa tidak ada kepercayaan dan
penghargaan terhadap martabat manusia Papua sebagai pemilik sah atas tanah
Papua. Orang Papua selalu dicurigai. Tidak ada lagi kepercayaan terhadap orang
Papua, sebab setiap orang Papua yang memiliki pikiran dan tindakan kritis
selalu dicap sebaga separatis.
Bentuk kecurigaan pemerintah
Republik Indonesia terhadap orang Papua termanifestasi dalam dan melalui
kehadiran aparat militer yang tidak dapat dibendung. Di mana-mana di tanah Papua
dibangun pos-pos militer untuk mengawasi gerak hidup orang Papua. Akibatnya,
orang Papua tidak merasa nyaman di atas tanahnya sendiri.Kita patut merenung:
“Orang Papua sudah hidup menderita, selalu diawasi, dan diberi aneka stigma
negatif. Bagaimana rasanya hidup menderita di atas tanah yang kaya raya?
Bagaimana menyaksikan orang lain hidup kaya raya sementara para pemilik tanah
ini hidup melarat?”
Pendapat saya mengenai permasalahan tersebut adalah :
- · Perlu adanya optimalisasi biaya yang ada untuk biaya masyarakat di Papua .
- · Harus adanya kontribusi SDA yang dapat diolah dan dikembangkan secara optimal untuk mendukung perekonomian masyarakat di Papua.
- · Perlu adanya forum antara pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat di Papua untuk saling mendengarkan pendapat yang diresahkan oleh masyarakat Papua sebagai bahan masukan untuk mencari solusi terbaik dari permasalahan yang sedang di hadapi oleh masyarakat Papua.
- · Masalah kesehatan yang terus menjadi masalah di daerah Papua dapat diatasi dengan sosialisasi yang terus dilakukan tanpa henti kepada masyarakat .
- · Permasalahan pendidikan yang belum dapat diselesai seharusnya ada tindak lanjut baik dari pemerintah daerah atau pusat. Dapat dilakukan dengan mengoptimalisasikan biaya APBD untuk biaya anak sekolah secara gratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar