Senin, 13 Juni 2016

META ANALISIS HARGA TRANSFER (TRANSFER PRICING)



Nama Kelompok:
·        Suhariana Habibah (27212181)
·        Talentia Kristi        (27212283)

Kelas:
4EB13

Judul             
PENETAPAN HARGA TRANSFER DALAM KAJIAN PERPAJAKAN

Tahun 2009

Latar Belakang
            Sejak tumbuhnya usaha secara konglomerasi maka muncullah grup perusahaan yang merambah semua lini bisnis dari hulu ke hilir. Dunia bisnis tidak lagi hanya berkiprah di tempat kedudukan asalnya, untuk memperkuat kedudukan bisnisnya perusahaan membuka cabang atau anak perusahaan baik secara nasional, regional, maupun internasional.
            Dengan adanya usaha konglomeras ini, kita mengenal berbagai macam nama grup perusahaan terkenal yang merambah dunia bisnis secara nasional, regional maupun internasional. Selanjutnya perusahaan-perusahaan membentuk holding company untuk mengkoordinasikan bisnis mereka.
            Dalam menentukan harga, imbalan, dan lain-lain antar mereka, biasanya ditentukan berdasarkan kebijkan harga transfer transfer pricing yang ditentukan oleh holding company yang dapat sama atau tidak sama dengan harga pasar. Keputusan harga dan imbalan yang diputuskan tentu telah melalui pertimbangan dan kajian yang mendalam dan secara keseluruhan akan mengguntungkan grup, Yani (2001).
            Dalam  penulisan  makalah  ini,  kami  mencoba  menguraikan  aspek  transfer
pricing dilihat dari sisi akuntansi dan sisi perpajakan yang terjadi pada perusahaanperusahaan yang telah diuraikan diatas.
           
Tujuan                                  
1.  Penentuan Harga Transfer atas Dasar Biaya (Cost Based-Transfer Pricing)
2.  Penentuan Harga transfer atas Dasar harga Pasar  (Market-Based-Transfer
     Pricing
3.  Negosiasi ( Negotiated Transfer pricing)

Objek penelitian       
            Perpajakan

Pembahasan             
Transfer  pricing didefenisikan  sebagai  suatu  harga  jual  khusus  yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division)  dan  biaya  divisi  pembeli  (buying  division).  Tujuan  utama  dari  transfer pricing adalah mengevaluasi dan mengukur kinerja perusahaan. Tetapi sering juga transfer  pricing  digunakan  oleh  perusahaan-perusahaan  multinasional  untuk
meminimalkan  jumlah  pajak  yang  dibayar  melalui  rekayasa  harga  yang  ditransfer antar divisi. Kunci utama keberhasilan transfer pricing dari sisi pajak adalah adanya transaksi  karena  adanya  hubungan  istimewa.(Yenni  ;2000).  Banyak  literatur  yang memberikan definisi tentang  transfer pricing,  dalam tulisan ini diutarakan sebagai berikut yaitu :
a)  Harga  transfer  (transfer   price)  adalah  harga  yang  ditagihkan  untuk  barang
yang ditransfer dari satu divisi ke divisi lainnya.Hansen (2007).
b)  Transfer Price – the price one subunit (department or division) charges for a
product  or  service  supplied  to  another  subunit  of  the  same  organization.
Hongren (2006).
c)  Transfer pricing  adalah sebagai nilai  yang melekat pada pengalihan barang
dan  jasa  pada  suatu  transaksi  antara  pihak  yang  mempunyai  hubungan
istimewa. Primanto (2002).
d)   Transfer  pricing  berkaitan  erat  dengan  harga  transaksi  barang,  jasa, atau
harta tak berwujud antar perusahaan dalam suatu perusahaan multinasional.
Yani (2001).

1.  Penentuan Harga Transfer atas Dasar Biaya (Cost Based-Transfer Pricing)
Mayoritas  perusahaan  menggunakan  transfer  pricing  atas  dasar  biaya  (Cost Based),  Cuma  yang  menjadi  permasalahan  adalah  banyaknya  definisi  biaya (cost)  yang  dapat  digunakan.  Sebagian  perusahaan  mungkin menggunakan biaya variabel (variable cost) dan sebagian lagi menggunakan biaya penuh (full cost),  atau  beberapa  menggunakan  biaya  standar  (standart  Cost)  dan  yang lainnya menggunakan biaya aktual (actual cost).

2.  Penentuan Harga transfer atas Dasar harga Pasar  (Market-Based-Transfer
pricing)
Jika barang atau jasa yang ditransfer antar divisi  atau antar perusahaan dalam
grup  perusahaan  multinasional  mempunyai  harga  pasar,  maka  pada  umumnya
harga  pasar  tersebut  merupakan  dasar  yang  adil  terutama  dilihat  dari  sudut pengukuran kinerja. Harga pasar diperoleh dari daftar harga yang dipublikasikan untuk barang atau jasa yang sejenis dengan produk atau jasa yang ditransfer atau diperoleh dari harga yang dibebankan oleh divisi yang memproduksi jika divisi tersebut menjual kepada pihak luar, Horngren (2006).

3.  Negosiasi ( Negotiated Transfer pricing)
Penentuan  harga  transfer  berdasarkan  negosiasi  jika setiap  divisi  atau  perusahaan dalam grup perusahaan multinasional memiliki komitmen otonomi atau desentralisasi,  maka  setiap  manajer  akan  melakukan  negosiasi  apabila  akan dilakukan  transfer  barang  atau  jasa.  Dalam  negosiasi  manajer-manajer  harus memperhatikan  biaya  produksi  (cost)  dan  harga  pasar,  dan  mereka  juga  harus memiliki  pengetahuan  yang  bagus  tentang  keinginan  perusahaan  secara keseluruhan, Horngren (2006). Menurut ilmu manajemen  Transfer pricingakan dapat memberikan hasil  yang maksimal  jika  Prerequisite  condition dapat  dipenuhi.   Menurut  pakar  manajeman.

Motivasi dan Implikasi Pajak Dalam Transfer Pricing
A.  Motivasi Pajak DalamTransfer pricing
Diatas  telah  dijelaskan  bahwa  bagi  perusahaan  multinasional  melakukan transfer pricingadalah untuk meminimalkan kewajiban pajak global perusahaan mereka,  Horngren  (2006).  Transfer  pricing tersebut  bermula  dari  usaha pengendalian  yang  dilakukan  oleh  satu  pihak  terhadap  pihak  lainnya  melalui kepemilikan  seperti  antara  induk  dengan  anak  perusahaan  atau  antar perusahaan  affiliasi  dan  kebijakan  transfer  pricing diarahkan  kepada maksimisasi efisiensi grup secara totalitas. Motivasi  pajak  dalam  transfer  pricing pada  perusahaan  multinasional  tersebut dilaksanakan  dengan  cara  sedapat  mungkin  memindahkan  penghasilan  ke negara dengan beban pajak terendah atau minimal dimana di negara tersebut ada  grup  perusahaan  mereka  yang  beroperasi,  Yani  (2001).  Dengan  adanya pemindahan  penghasilan  tersebut  maka  pajak  yang  dibayar  secara keseluruhan akan rendah, sedangkan bagi negara yangmenerapkan tarif pajak tinggi  grup  perusahaan  mereka  yang  ada  di  negara  tersebut  bisa  saja  dibuat rugi melalui kebijakan  transfer pricing. Akhirnya, total laba setelah pajak secara keseluruhan akan lebih besar jika dibandingkan kalau tidak melakukan transfer pricing.

B. Implikasi Pajak Dalam Transfer pricing
Menurut  Gunadi  (2006)  transfer  pricing menyebabkan  ketidakadilan  dalam
perpajakan  karena  perbedaan  struktur  perusahaan.  Perusahaan  yang  dipecahpecah  menjadi  suatu  grup  dapat  merekayasa  laba  sehingga  meminimalkan  pajak.
Sementara  itu,  perusahaan  tunggal  harus  membayar  pajak  seperti  apa  adanya.
Untuk  menegakkan  keadilan  perpajakan  dimaksud,  buku Tax  Law  Design  and
Drafting terbitan IMF 1996, merekomendasikan dua pendekatan. Pertama, dengan
merumuskan dalam ketentuan domestik, suatu negara dapat mengambil laba global
grup dan mengalokasikan sebagian laba tersebut berdasar formula tertentu kepada
sumber yang berada di negaranya dan kemudian memajaki bagian laba dimaksud.

Aturan Perpajakan Tentang Transfer pricing
Berdasarkan  Pasal  18  ayat  (3)  Undang-undang  Nomor  7 Tahun  1983 sebagaimana  dan  perubahan  lainnya,  terakhir  diubah  dengan  Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal Pajak diberikan kewenangan  untuk  menentukan  kembali  besarnya  penghasilan  dan  pengurangan serta  menentukan  kembali  besarnya  penghasilan  dan  pengurangan  serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya jumlah Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubunganistimewa sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa. Dari pasal tersebut  yang dimaksud dengan hubungan istimewa adalah sesuai dengan  pasal  18  ayat  (4)  UU  Pajak  Penghasilan  yaitu hubungan  istimewa  yang timbul karena adanya tiga hal, yaitu:
a) adanya  penyertaan  modal  baik  langsung  maupun  tidak  langsung  dengan jumlah  minimal  25%,  hal  ini  berlaku  pula  untuk  hubungan  antar  wajib pajakwajib  pajak  yang  dimiliki  oleh  suatu   dengan  penyertaan  masing-masing minimal 25%.
Contoh : A memiliki saham B sebesar 50% dan B memiliki saham C sebesar 50%  maka  A  dianggap  memiliki  C  sebesar  0%  dari  50%  yaitu  25%  sehingga masih  masuk  dalam  kategori  hubungan  istimewa.   Contoh  lain  A  memiliki saham B sebesar 25% dan A memiliki C sebesar 25% maka B dan C dianggap memiliki hubungan istimewa.
b) Adanya  penguasaan  baik  secara  langsung  maupun  tidak  langsung,  yang dimaksud penguasaan di sini adalah manajemen dan teknologi.
c) Adanya  hubungan  keluarga  baik  sedarah  maupun  semenda  dalam  garis keturunan lurus atau samping satu derajat.
Dasar  dari  penentuan  kembali  penghasilan  dan  pengurangan  seperti disebutkan  pada  Pasal  18  ayat  (3)  UU  Pajak  Penghasilan  adalah  kewajaran  dan kelaziman usaha dari Wajib Pajak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Pada saat  ini  petunjuk  penanganan  kasus-kasus  transfer  pricing  adalah  Surat  Edaran Direktur  Jenderal  Pajak  nomor:  SE-04/PJ.7/1993  tanggal  September  1993  dan pedoman  bagi  pemeriksa  pajak  untuk  mneyelesaikan  masalah  transfer  pricing adalah  Keputusan  Dirjen  Pajak  Nomor  Kep-01/PJ.7/1993  tanggal  3  September 1993.
Dalam  SE-04/PJ.7/1993  disebutkan  contoh-contoh  kekurangwajaran  yang terjadi dalam suatu transaksi antar pihak yang mempunyai hubungan istimewa yaitu:
a) dalam hal jual beli
b) dalam hal alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost)
c) dalam hal pembebanan bunga atas pinjaman dari pemegang saham
d) dalam hal pembayaran komisi, lisensi, francise, sewa, royalty, imbalan atas jasa
teknik dan imbalan atas jasa lainnya
e) pembelian  harta  perusahaan  dari  pemegang  saham  atau  pihak  yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar
f)  penjualan kepada pihak luar negeri melaui pihak ketiga yang tidak atau kurang
memiliki substansi usaha.
            Jika terjadi kasus kekurangwajaran seperti disebutkan di atas, Undang-undang
perpajakan kita menganut asas material  (substance over form), maksudnya adalah
keadaan substansi transaksi yang dijadikan dasar untuk melihat wajar atau tidaknya
dari suatu transaksi.
            Sedangkan  untuk  menghindari  adanya  penyeludupan  pajak  yang  dilakukan oleh perusahaan multinasional melalui  transfer pricing, pemerintah Indonesia telah mengantisipasinya  melalui  kerjasama  dan  pertukaran  informasi  dengan  negaranegara lain. Hal ini diatur dalam Keputusan MenteriKeuangan No. 94/KMK.01/1994 tanggal 29 Maret 1994 tentang Organisasi dan Tatakerja Direktorat Jenderal Pajak pasal 79 yaitu : Subdirektorat Evaluasi dan Informasi Perpajakan mempunyai tugas mengumpulkan  informasi  perpajakan  dari  negara  lain  dalam  rangka  mencegah penghindaran  dan  penyeludupan  pajak  dalam  bentuk  transfer  pricing  atau  bentuklainnya,  melaksanakan  pertukaran  informasi  perpajakan  dengan  negara  lain, melaksanakan  evaluasi  pelaksanaan  perjanjian  perpajakan  dan  kerjasama internasional  di  bidang  perpajakan  serta  menelaah  hubungan  ekonomi  keuangan dan peraturan perpajakan lain.

Kesimpulan
Dari  hasil  pemaparan  makalah  di  atas,  dapat  diambil beberapa  kesimpulan
sebagai penutup tulisan ini yaitu :
1.  Transfer  pricing dapat  ditentukan  dengan  menggunakan  dasar-dasar
pendekatan :
  Cost Based-Transfer pricing
  Market Price-Tansfer Pricing
  Negotiated Transfer pricing
2.  Untuk mengatur  transfer pricingini, undang-undang memberikan kewenangan
kepada  pihak  fiskus  untuk  menentukan  kembali  jumlah harga  transfer  antar
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
3.  Pada perusahaan multinasional yang sering melakukan transaksi internasional
(cross  border)  praktik  transfer  pricing sering  digunakan  untuk  memaksimisasi
efisiensi grup secara totalitas.
4.  Motivasi pajak dalam  transfer pricingpada perusahaan multinasional tersebut
dilaksanakan  dengan  cara  sedapat  mungkin  memindahkan  penghasilan  ke
negara dengan beban pajak terendah atau minimal dimana di negara tersebut
ada grup perusahaan mereka yang beroperasi.
5.  Transfer pricingjika dilakukan berdasarkan harga pasar tidak memiliki implikasi
perpajakan,  sebaliknya  jika  tidak  menggunakan  dasar harga  pasar  pada
umumnya  memiliki  implikasi  perpajakan  yaitu  terjadinya  perpindahan
penghasilan.
6.  Dengan adanya pemindahan penghasilan  tersebut  maka pajak  yang dibayar
secara  keseluruhan  akan  rendah.  Akhirnya,  total  laba  setelah  pajak  secara
keseluruhan akan lebih besar jika dibandingkan kalau tidak melakukan transfer
pricing.
7.  Di  Indonesia  indikasi  terhadap  transaksi  transfer  pricing dapat  dilihat  jika
terdapat  ketidakwajaran  dalam  transaksi  dan  perusahaan  yang  saling
bertransaksi memiliki hubungan istimewa.







Judul  : PENETAPAN HARGA TRANSFER DALAM DUA PERSPEKTIF TEORITIS

Tahun 2010

Latar Belakang
          Banyak literatur diawal tahun 1950an tentang ilmu akuntansi, ilmu managemen, dan ilmu ekonomika membahas tentang permasalahan terkait harga transfer. Para penulis menganjurkan solusi terkait dengan permasalahan ini dengan analogi dari permasalahan harga internal untuk menentukan harga pasar yang kompetitif dari ilmu ekonomi tradisional (Watson dan Baumler, 1975). Yang dimaksudkan disini adalah terjadinya proses tawar menawar dari para pelaku pasar (produsen dan konsumen) sehingga membentuk harga pasar. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah solusi terkait dengan model harga pasar ini dapat diterapkan. Sugiri (2009) menyebutkan bahwa model ini sangat tepat digunakan sebagai penentu harga transfer ketika pasar tersebut adalah pasar persaingan sempurna (perfectly competitive). Artinya, terdapat kondisi ideal yang musti terpenuhi, yaitu adanya harga pasar eksternal dan bersifat persaingan sempurna,serta adanya kebebasan untuk membeli atau menjual produk tersebut dari dan kepada pihak eksternal.
            Dalam realitanya, pasar persaingan sempurna hampir tidak ada. Dalam banyak hal, produsen dapat mengambil tindakan yang mempengaruhi harga pasar. Misalnya produk yang dijual perusahaan (dalam hal ini divisi penjual) sedemikian besarnya sehingga menurunkan harga pasar. Ini merupakan contoh ketidaksempurnaan pasar, sehingga harga pasar kurang cocok digunakan sebagai penentu harga transfer. Dalam kasus demikian, harga transfer negosiasian (negotiated transfer pricing), merupakan alternatifnya. Ghosh (2000) menegaskan bahwa negosiasi merupakan sebuah metodayang umum digunakan oleh banyak perusahaan dalam menetapkan harga transfer. Kachelmeier dan Towry (2002) menyebutkan bahwa meski harga pasar eksternal tersediapun, harga transfer negosiasian berpotensi digunakan sebagai mekanisme kontrol,serta memberikan keseimbangan antara pertimbangan ekonomik dan perhatian sosial yang luas oleh divisi-divisi yang independen. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa penetapan harga transfer dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi seperti harga pasar eksternal dan faktor-faktor perilaku termasuk keadilan (fairness) dan pembingkaian (framing) (lihat Luft & Libby, 1997; Ghosh dan Boldt, 2006; Changet, al,2008).
            Sesuai dengan judul yang disajikan, artikel ini akan menyajikan beberapa hal terkait penetapan harga transfer dalam 2 perspektif teoritis yang berbeda. Dua perspektif teoritis yang akan dibahas disini yaitu, ekonomika dan psikologi. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menyajikan kekayaan wilayah studi akuntansi yang sudah merambah pada berbagai perspektif disiplin ilmu, bukan hanya ekonomika saja, tetapi juga psikologi1. Khusus untuk topik penetapan harga transfer, rekaman perkembangan dan penemuan baru yang bersentuhan dengan berbagai disiplin ilmu, setidaknya memperluas pengetahuan dan pemahaman akan variabel-variabel apa saja yang saling terkait dalam mempertimbangkan penetapan harga transfer.

Tujuan
Untuk menyajikan kekayaan wilayah studi akuntansi yang sudah merambah pada berbagai perspektif disiplin ilmu ekonomika saja dan psikologi.

Pembahasan
            Harga transfer mempunyai pengaruh terhadap laba divisi pembeli maupun penjual serta laba perusahaan sebagai satu kesatuan sebagai berikut: 1. Bagi divisi pembeli, harga transfer merupakan bagian dari kos produk, sehingga ketika kos tersebut ditandingkan (setelah produk terjual) dengan pendapatan selama satu perioda akuntansi yang sama, akan mempengaruhi laba. 2. Sebaliknya, bagi divisi penjual, harga transfer merupakan bagian dari pendapatan, sehingga ketika biaya terkait ditandingkan dengan pendapatan selama satu perioda akuntansi, akan mempengaruhi labanya. 3. Bagi perusahaan, andaikan secara ekonomis kos produk yang relevan untuk memproduksi barang antara (intermediate product) justru lebih murah daripada harga produk di pasar eksternal, sedangkan divisi-divisi tidak sepakat melakukan harga transfer, maka laba perusahaan akan menjadi buruk, terutama ketika jumlahnya sedemikian signifikan. Selain pengaruhnya terhadap laba, harga transfer juga memiliki dampak pada autonomi divisi. Ketika laba perusahaan terpengaruh, maka top managemen akan terdorong untuk melakukan intervensi terhadap keputusan membeli dari pihak eksternal ataupun memproduksi secara internal. Bentuk intervensi ini berpeluang untuk mengurangi autonomi dari tiap divisi yang terlibat dalam harga transfer. Untuk menjaga autonomi divisi yang ada, perusahaan tidaklah menentukan berapa rupiah besarnya harga transfer, melainkan menetapkan kebijakan (aturan) yang secara wajar dapat diterima oleh masing-masing manager divisi. Kebijakan itu meliputi dasar-dasar penetapan harga transfer berikut: 1. Harga pasar (market-based transfer price). 2. Kos (cost-based transfer price). 3. Harga negosiasian (negotiated transfer pricing).

Metoda-Metoda Harga Transfer Serta Perbandingannya:
1.Harga Pasar (market-based transfer price).
Harga pasar merupakan harga produk (barang atau jasa) yang terjadi di pasar eksternal sebagai hasil akhir dari proses tawar menawar seluruh pelaku pasar (produsen dan konsumen). Jika pasar tersebut adalah pasar persaingan sempurna, maka harga pasar sangat tepat menjadi harga transfer. Pada situasi demikian, berbagai tindakan manager divisi akan mengoptimalkan laba divisi serta laba perusahaan secara simultan. Jadi, harga pasar dianggap dapat menciptakan goalcongruence (kinerja manager untuk mencapai tujuan pribadi dan divisinya, juga dapat mencapai tujuan perusahaan secara keseluruhan)

2. Kos (cost-based transfer price).
Harga pasar eksternal kerap tidak tersedia. Hal ini bisa terjadi karena produk yang ditransfer menggunakan disain yang memiliki hak paten perusahaan induk. Dalam kasus ini, bisa digunakan pendekatan penetapan harga transfer berdasarkan kos. Ketika harga yang ditetapkan adalah senilai kos, maka ada kemungkinan, divisi penjual tidak mendapatkan laba. Untuk kepentingan bersama, maka kos oleh organisasi dapat didefinisikan sebagai kos plus, yaitu penetapan harga transfer ditetapkan berdasar kos ditambah margin sesuai kebijakan.

3.Harga transfer negosiasian (negotiated transfer pricing).
Dalam realita, pasar persaingan sempurna hampir tidak ada. Dalam kondisi seperti ini, pendekatan penetapan harga transfer melalui negosiasi kedua divisi adalah alternatif praktis. Ghosh (2000) menegaskan bahwa negosiasi merupakan sebuah metoda yang umum digunakan oleh banyak perusahaan dalam menetapkan harga transfer.

PENETAPAN HARGA TRANSFER DALAM DUA PERSPEKTIF TEORITIS
            Dalam studi terkait topik harga transfer, sebenarnya ketiga perspektif teoritis yaitu ekonomika, psikologi, dan sosiologi dapat digunakan secara bersama-sama. Hal ini dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan Ghosh dan Boldt (2006), yaitu menggunakan teori yang dikembangkan dalam psikologi serta teori ekonomika dalam pengembangan hipotesis penelitian. Demikian halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Chan (1998). Dalam penelitian ini, pengembangan hipotesis penelitian
menggunakan teori yang dipinjam dari teori yang dikembangkan dalam bidang ilmu psikologi, ekonomika serta sosiologi secara bersama-sama. Dari kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa keterkaitan dari ketiga teori dalam tiga bidang ilmu yang masuk dalam ilmu-ilmu sosial ini, secara berintegrasi, dapat menjelaskan serta memberi pemahaman terhadap suatu fenomena sosial, sebagaimana yang terjadi pada fenomena harga transfer secara lebih komprehensif.
            Pemahaman yang komprehensif ini sendiri dapat bermanfaat bagi para peneliti
dari suatu bidang ilmu yang terkait. Misal para peneliti dari bidang ilmu ekonomika yang memiliki asumsi bahwa semua manusia adalah rasional serta keadaan adalah stabil. Mereka dapat memahami kondisi yang berkebalikan dari asumsi yang mereka
pahami, dengan menggunakan teori psikologi yang menyatakan bahwa manusia memiliki bias karena adanya keterbatasan rasional (yang dijelaskan oleh teori psikologis) serta ketidakstabilan kondisi ekonomi karena adanya faktor sosiologis seperti budaya yang ada pada suatu negara. Namun perlu dipahami bahwa, seringkali peneliti yang berpengalaman dalam satu perspektif teoritis sering mengalami kesulitan untuk mengambil keuntungan penuh dari bantuan yang ditawarkan oleh hasil penelitian pada perspektif yang berbeda.
Hal ini disebabkan oleh 4 hal yaitu:
1 .Seringkali penelitian pada masing-masing perspektif mempergunakan penyebutan
yang berbeda untuk variabel yang sebenarnya sama (atau serupa).
2. Mempergunakan penyebutan yang sama untuk variabel yang berbeda.
3. Membuat penyederhanaan asumsi berbeda yang digunakan (hal ini tidak selalu dengan tegas diidentifikasi)
4. Memiliki suatu perbedaan fokus perhatian utama (juga tidak selalu dengan tegas
diidentifikasi).
            Dengan berpedoman pada apa yang dilakukan Covaleski et al. (2003) pada topic penganggaran, bagian selanjutnya dalam  tulisan ini akan membahas berbagai teori yang digunakan dalam dua perspektif yang ada dalam penelitian

Perspektif Ekonomika
            Dalam penelitian harga transfer yang menggunakan teori-teori ekonomika, pertanyaan penelitian yang muncul adalah apakah nilai ekonomis dari praktek penetapan harga transfer untuk pihak-pihak yang terlibat, seperti perusahaan sebagai satu kesatuan ataupun divisi-divisi yang berperan sebagai penjual dan pembeli. Menurut Gox dan Schiller (2007), penelitian-penelitian ekonomika terkait harga transfer kebanyakan berbasis pada model-model ekonomi mikro seperti teori keagenan (agency theory) dan teori permainan (game theory).
            Teori keagenan didasarkan atas berbagai aspek dan implikasi hubungan antara prinsipal (principal) dan agen (agent), yang di dalamnya agen bertindak atas nama danuntuk kepentingan prinsipal, atas tindakan (actions) tersebut agen mendapat imbalantertentu. Hubungan ini biasanya dinyatakan dalam bentuk kontrak. Dalam teori keagenan, agen biasanya dianggap sebagai pihak yang ingin memaksimumkan dirinya tetapi tetap selalu berusaha memenuhi kontrak. Diawal pembahasan telah disebutkan bahwa penetapan harga transfer terus diperdebatkan karena efek negatif yang ditimbulkan dalam organisasi (McAulay dan Tomkins, 1992). Dalam kaitannya dengan teori keagenan, efek negatif ini mendorong prinsipal untuk lebih melakukan pengendalian serta pengawasan terhadap agen yang cenderung opportunis.

Perspektif Psikologi
            Menurut Birnberg et al. (2007), psikologi adalah ilmu tentang pikiran (mind) (yaitusikap, kognisi, motivasi) dan perilaku (tindakan serta komunikasi) manusia. Berbeda dengan teori-teori ilmu sosial lainnya, penelitian bidang akuntansi managemen yang menggunakan teori-teoripsikologi  lebih berfokus pada perilaku individu dibandingkan perilaku organisasi ataupun sosial, dan pada fenomena subyektif seperti representasi mental dibandingkan fenomena obyektif seperti harga pasar dan kuantitas atau ukuran perusahaan dan teknologi. Covaleski et al. (2003) menyebutkan 2 asumsi yang ada pada penelitian akuntansi managemen khususnya pengangg
aran yang berbasis pada teori-teori psikologi yaitu:
1. Bahwa perilaku adalah memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality) dan satisficing
2. Bahwa individu akan mencari atau menginginkan keseimbangan internal atau pribadi (internal or single-person equilibrium) sebagai bagian dari keterbatasan rasional (bounded rationality) dan
satisfacing mereka.
            Hal ini dapat terjadi juga pada penetapan harga transfer. Misal ketika dalam proses negosiasi yang berjalan lama dan alot, individu yang terlibat merasakan jenuh, lelah, dan bosan (kondis burnout), sehingga informasi yang diberikan kemudian, meski merupakan informasi yang penting untuk judgment yang diberikan bagi penetapan harga transfer, tidak lagi dapat digunakan untuk menentukan keputusan. Hal ini membawa dampak pada keputusan yang diambil akan bias (
heuristic biases). Dikemudian hari yang ada hanya penyesalan dan ini bukti ketidakkonsistenan karena adanya keterbatasan rasionalitas (hal ini dapat dijelaskan dengan cognitive dissonance theory). Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan-penelitian terkait harga transfer.

Kesimpulan
            Dalam penelitian-penelitian akuntansi managemen, banyak ditemukan teori-teori yang dikembangkan pada bidang ilmu lain (selain akuntansi) dalam pengembangan hipote sis penelitiannya. Teori-teori ekonomika, teori psikologis, serta teori sosiologis dipakai bergantian dan secara bersamaan dalam menjawab fenomena yang terjadi dalam bidang ilmu akuntansi managemen. Dengan berbagai asumsi yang melandasi teori-teori tersebut, sesungguhnya teori-teori ini saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Hal ini menimbulkan kesan bahwa sesungguhnya dalam ilmu sosial sebagaimana akuntansi, akan senantiasa bersentuhan dengan bidang ilmu yang lain untuk dapat menjawab setiap fenomena yang muncul, baik perilaku organisasi, individu, ataupun dengan lingkungan.
            Terkhusus harga transfer negosiasian, adalah merupakan satu dari beberapa metoda penetapan harga transfer yang digunakan pada organisasi yang terdesentralisasi. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, metoda ini terbukti efektif dalam menjaga autonomi divisi, sehingga pengukuran kinerja secara obyektif dapat didasarkan pada laba divisi. Meski masih menjadi perdebatan karena mungkin terdistorsi oleh kemampuan managernya dalam bernegosiasi. Penelitian yang dilakukan Chalos dan Haka (1990) menyatakan bahwa terdapat monopoli bilateral dalam harga transfer, telah sesuai dengan apa yang diprediksi oleh teori negosiasi, yaitu: 1. Sistem reward yang berorientasi pribadi (divisional) membawa kepada hasil yang lebih berbeda daripada insentif yang lebih kooperatif; 2. Laba perusahaan akan meningkat dengan pengalaman; 3. Bertambahnya ketidakpastian pada suatu skema reward divisional, akan meningkatkan konflik; 4. Skema insentif campuran akan membawa kepada frekuensi terbesar dari baik hasil yang merupakan keuntungan (advantageous) dan hasil yang integratif.

Tittle   :                      

 Multinational Transfer Pricing and International Taxation: What, Why, How and Reporting Challenges (2009)

Introduction              
Today globalized markets, international foreign direct investment, and  worldwide procurement combine to create a complex, integrated and dynamic business environment. Transfer prices are the value assigned to intermediate goods, which move between the divisions of a vertically integrated firm. The transfer or movement of raw materials, parts, or partially finished goods may occur in the context of either national or international production process. Intra-firm trade which includes services, technology, capital goods, intermediate goods, and finished goods for resale, constitutes a significant portion of world trade. In general, governments constrain transfer pricing decision choices through trade policy, foreign direct investment incentives, labor laws, foreign exchange rates, currency regulations, local content requirements, traditional business practices and taxation. Taxation has remained an ever-green subject for business groups and continues to remain so.
The multinational firms want to maximize shareholder value through higher stock prices, a function of current and long term profits. To this end they try to minimize taxes. As Williamson (1975) pointed out, when a firm expands its operations either domestically or internationally, transactions are influenced by the visible hand of managerial authority rather than the invisible hand of the competitive price system. Accordingly, one of the primary advantages of a multinational firm versus a domestic corporation lies in its flexibility to transfer resources across borders through a globally maximizing network (Kogut, 1983). “It is clear that the potential for tax arbitrage that results from globalisation creates a considerable and continuing incentive for domestic companies to internationalize their business (Plender and Simon, 2004)”. Since transfer prices are the value assigned to intermediate goods, which move between the divisions of a vertically integrated firm, the fact that they are, related party transactions between organizational units can reduce the expected macroeconomic benefits. Intrafirm trade differs from basic arms length transactions between unrelated parties because it is shaped by the global parent’s strategy to control upstream supplies and downstream markets (Encarnation, 1994; Eden, 1994). Plender and Simon’s (2004) investigation suggests transfer pricing threatens global tax revenues, they conclude the “tax authorities face substantial difficulties in unraveling complex operations between subsidiaries of multinational groups”. Back in 1973 this kind of trade accounted for one third of all US goods (Lall, 1973). By 1996 US intra-firm trade with overseas manufacturing affiliates reached $243 billion (Monthly Bulletin of  Statistics, 1998). This trend is not limited to US firms; Department of Commerce figures, worldwide two-way intra-firm trade increased from 102 billion in 1977 to 337 billion (Tang, 1990). Regional trade agreements such as NAFTA
and the European Union accelerate the trend (Zwick, 1998). In 2004 intracompany trade among corporate subsidiaries “accounted for 46% of the $1.33 trillion US imports and 31% of $731 billion in exports (Sunday Tribune, 2004). Here I discuss about Transfer Pricing as a distinctive concept of 'International Taxation', its meanings and attributes (in 'What'), its significance and need (in 'Why'); its implementation and other related issues (in 'How'); and the reporting challenges (the problems and strategies). The accounting and economics literature, government documents and business publications have been reviewed to uncover the underlying rationale for various government regulations.

Analysis Tool

 There are essentially two ways of negating Transfer Pricing effects i.e. for determining the arm's length price. These are;

1.        Transactional methods,
·       Comparable Uncontrollable Price Method
·       Cost Plus Method
·       Resale Price Method

2.        Non-transactional methods (Taylor, 2008; The Tax Executive, November/December 2003),
·       Profit Split Method
·       Transactional Net Margin Method

Discussion     

1.      How Transfer Pricing Rules are implemented?

For companies which undertake transactions with related parties, there
certainly are mechanisms designed in place to record the details of
transaction to precise details to prove before the taxation authorities that the
prices charged reflect a fair value (Tang, 1993, Ernst & Young 1991,
Borkowski 1990; Springsteel, 1999).Even otherwise, these transfer pricing
rules are integrated in the tax systems in a precise detail as the nonintegration
would imply losing out on prospective revenues and therefore the
tax authorities must exercise due care to ensure that things relating to transfer
pricing are in order. Tax authorities will no longer accept transfer-pricing documentation as evidence that tax returns are filed in accordance with the arm's length
principle. Globally, tax authorities are increasingly querying whether transfer
pricing policies have been implemented correctly, and if they are being
calculated correctly on a yearly basis. Figure 2 outlines the steps associated
with a leading practice in transfer pricing care and maintenance strategy.
To reduce compliance risks, corporate treasuries should ensure that transfer
pricing policies are implemented correctly, and the implementation process
should regularly be assured (either by internal audit or a third party).
In fact most countries offer an 'Advanced Transfer Pricing' (APA) agreement
which the companies operating in their territory can enter into. This saves the
re-computation of figures in future as the companies agree to follow a
particular methodology for dealing with related parties, as the host country
would tell them to under the APA. Also an approach is suggested to
corporate treasuries in achieving efficiency in transfer pricing
implementation. It’s called the potential transfer pricing risk and opportunity
assessment model.
2.      Assessment of Potential Transfer Pricing Risks and Opportunities
The transfer pricing risk and opportunity assessment framework presented
below can be utilised by corporate treasurers to assess if they have either a
potential transfer pricing risk exposure, or alternatively an opportunity to
structure their operations in a more tax-efficient manner. As the hunters
learn to shoot without missing, the birds are also learning to fly without
perching. This is intriguing and can also be used to the advantage of the
government.
3.      The Reporting Challenges
The level of the transfer price will have implications for the underlying
taxable profitability of the different legal entities. Tax authorities are
concerned that some multinationals might manipulate transfer prices to
obtain unjustified tax arbitrage between high- and low-tax countries. To
address this concern, tax authorities require companies to demonstrate that
transactions between legal entities have been entered into on an arm's length
basis, that is, in a manner that is consistent with dealings between parties. For example, in an instance where the corporate treasury gives a guarantee to a third-party bank for a loan entered into by an affiliate, due consideration should be given to the guarantee fee paid by the subsidiary to the company carrying on the treasury activities. The Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) Guidelines on Transfer Pricing for Multinational Enterprises and Tax Administrations (OECD Guidelines) set out guidance on how to determine arm's length transfer prices. The OECD Guidelines form the basis of many countries' local transfer pricing legislation. However, it is recognised by the OECD that it can be difficult to price some transactions, especially financial transactions that occur between connected parties.
4.      What Type of Transactions Give Rise to a Potential Transfer Pricing Exposure?
All services provided by a corporate treasury to group companies give rise to
an inter-company transaction that should be priced in accordance with the
arm's length principle. Andrews, Ernst and Young, (2008) typically observe
that clients' corporate treasuries are engaged in the following types of intercompany
transactions ıInter-company funding:
• Cash pooling.
• Provision of financial guarantees.
• ıAsset management of surplus cash.
• Foreign exchange and commodity risk management.
• Payments and netting services.
• ıFactoring and forfaiting of receivables.
• Carbon trading.
• Arranging of global credit facilities.
• Captive insurance of group risks.

CONCLUSION         : It is concluded that groups regularly reassess their transfer pricing policies to ensure that they are consistent with the arm's length principle. By reassessing treasury transfer pricing policies, groups can ensure that they identify any opportunities to obtain tax efficiencies. This can also help them reduce the likelihood of transfer pricing enquires, which can be very costly and time consuming and can result in additional tax, interest and transfer pricingrelated penalties. Solid transfer price documentation translates directly into bottom line (Bobbin, 1998). Lopatin (2003) suggests it is really impossible to know how much tax a transnational corporation has paid in each jurisdiction or territory. Therefore, transfer pricing manipulation will flourish as long as there is “no obligation to report the split between third-party and inter-group trading”.


Tittle            

Optimal Negotiated Transfer Pricing and Its Implications for
International Transfer Pricing of Intangibles (2009)

Introduction                

Thirty to 60 percent of international trade occurs through intra-firm trade between related or controlled divisions of multinational corporations (MNCs) (Guttman 1999; Stanley 2001; Diewert, Alterman, and Eden 2005) at prices, called “transfer prices” (TPs), that are determined within a MNC rather than at arm’s length in an external market. The extent of internal MNC trade creates a substantial opportunity for MNCs to adjust TPs to shift profit earned in high-tax countries to related corporate entities or divisions in low-tax or tax-haven countries. This opportunity, coupled with a MNC’s fiduciary imperative to maximize world-wide after-tax profit, raises governmental concerns about abusive transfer pricing (TPing) practices. In an unpublished federally-funded study of U.S. Customs data, Pak and Zdanowicz (2002) report
dramatic over-invoicing of U.S. imports and under-invoicing of U.S. exports, creating an estimated aggregate $53.1 billion loss in U.S. federal tax revenue in 2001 (Diewert, Alterman, and Eden 2005, p. 4; Dorgman 2002). Eden (2003) concludes “empirical evidence for transfer pricing manipulation exists but is not overwhelming” (p. 7), while Diewert, Alterman, and Eden (2004) argue that, in general, the empirical literature on the extent of TPing manipulation proves “mixed” (p. 3). This paper develops an optimal negotiated transfer pricing bargaining structure, and examines the strength of incentives for TPing abuse for tangible versus intangible intra-firm
trade from an economic perspective. Under negotiated transfer pricing (NTPing), a concern is the ability of a MNC to create goal congruence without sacrificing division autonomy (Hansen and Kimbrell 1991; Chalos and Haka 1990). Although
negotiation may foster greater divisional autonomy for performance evaluation and better integration of divisional and firm profit objectives[,] …these negotiation advantages may be outweighed by bargainer practices such as nontruthful revelation of 3 cost and revenue information (DeJong et al., 1989) and opportunistic behavior by a dominant division (Burton and Obel, 1988). These drawbacks may lead to non-Pareto outcomes for the firm as well as divisional inequities (Ravenscroft, Haka and Chalos 1993, p. 415; italics original).
With our alternative, workable bargaining structure, which evaluates division management performance independently of the negotiated transfer price (NTP) for income tax purposes, autonomous divisions face sufficient incentives to select the firm-wide optimal TP (on the arm’s length boundary) as well as the optimal quantity of tangible intra-firm trade. For tangible intrafirm trade, MNCs avoid taxes, but, given identifiable (near) comparable uncontrolled prices, they
do not necessarily face powerful incentives to evade taxes. For licensed intangible transfers under NTPing, however, the nature of intangibles creates a larger optimal profit shift for a given tax-rate differential, which strengthens incentives for TPing abuse. Coupled with the typical absence of publicly-available information on (near) comparable uncontrolled license transactions, an intangible’s arm’s length range, therefore, provides an imperfect guideline, a context where incentives for abuse are more likely to materialize.

Analysis tools            

·         The Core Synthesis Model TRANSFER PRICING MODEL BASED ON THE RESALE PRICE METHOD
·         Centralized Decision Making: The Modified Horst (1971) Solution
·         Decentralized Decision Making: Centralized Transfer Pricing
·         Optimal Negotiated Transfer Pricing
·         Licensing Intangible Assets Intra-Firm

Discussion     

·         The Core Synthesis Model TRANSFER PRICING MODEL BASED ON THE RESALE PRICE METHOD

We develop a core synthesis model to create a common framework within which to review the relevant core papers’ analyses and results. The MNC owns two divisions, one operating in the domestic country (country 1) and the other operating in a foreign country (country 2).
The MNC’s 4 domestic currency-denominated global after-tax profit is


·         Centralized Decision Making: The Modified Horst (1971) Solution


In Horst (1971), the MNC faces an import tariff or duty, 2 d , in country 2 on the value of intrafirm trade, and is horizontally integrated (i.e., division 2 resells 12 X as its final good 2, which is now 2 X instead of 2 Y ). Division 2 produces part of 2 X itself (i.e., 22 X ) with a production cost of 22 C , does not incur a processing cost for the portion of good 2 that it imports from division 1 ( γ2  0 ), and sells good 2 in an imperfectly competitive output market. Therefore,



·         Decentralized Decision Making: Centralized Transfer Pricing

In Bond’s (1980) decentralized MNC, top management chooses the TP (under DDM with centralized transfer pricing, CTPing) and division managements choose the quantity of intra-firm trade (and division output). Bond’s (1980) model contains equations (1'), (2'), and (3') of the core model. Given the centralized TP set by top management, each division responds by choosing its optimal quantity of the intra-firm good. The divisions maximize as follows:



·         Optimal Negotiated Transfer Pricing

discuss the the domestic divisionalized firm facing equal tax rates, the mnc facing unequal tax rates, an alternative approach, private information, bargaining structure, optimal ntping, complete information not required, allocation of the joint gain, tax law compliance.

·         Licensing Intangible Assets Intra-Firm

discuss the the nature of intangibles, literature review, intra-firm licensing of intangible assets.

Conclusion    

Under our NTPing bargaining structure, the modified Horst (1971) CDM outcome emerges irrespective of an equitable or inequitable joint profit gain allocation mechanism. Even under an allocation mechanism that depends on bargaining power where the divisions wield extremely unequal bargaining powers, the relatively stronger-bargaining division management faces an incentive to offer a concession that makes the relatively weaker-bargaining division’s performance evaluation profit at least as much as its non-cooperative performance evaluation profit. Our bargaining structure, including a separation of performance evaluation from the NTP
decision, provides that incentive. By unlinking the NTP decision from the division management compensation equation, even under incomplete information a decentralized MNC can achieve the higher after-tax profits equivalent to the modified Horst (1971) CDM outcome. The separation of performance evaluation from the NTP decision creates the incentive to select the firm-wide optimal solution (i.e., a NTP on the upper or lower arm’s length boundary, and the equilibrium intra-firm quantity). In their negotiations, division managers face sufficient 38 economic incentives to truthfully share cost and revenue information, giving them the ability to make firm-wide optimal decisions. Had we adopted Hansen and Kimbrell’s (1991) and
Vaysman’s (1998) assumption that the firm evaluates division management performance based on the same division profit used for tax reporting, the modified Horst (1971) solution would not obtain. When the NTP depends on relative bargaining positions, no guarantee exists that the NTP will lie on the arm’s length boundary. Further, in contrast to Halperin and Srinidhi (1991), resource efficiency (i.e., an equilibrium intra-firm quantity) would not necessarily occur either, since fairness comes into play when the NTP depends on bargaining abilities rather than a
division’s actual economic contribution to the MNC’s after-tax profit. The relatively weakerbargaining division, whose quantity decision would be binding, would maximize its division profit by selecting a lower-than-equilibrium quantity of intra-firm trade, given an unfair NTP. Should the MNC adopt a fairer mechanism to allocate the joint gain (e.g., one that will produce an allocation consistent with the equilibrium TP), the modified Horst (1971) result would not occur because the NTP—being determined by relative bargaining ability—would not necessarily
lie on the arm’s length boundary. For intra-firm licensing of intangibles under our bargaining structure, we find a greater incentive for MNCs to practice abusive TPing for intangibles than for a commensurate quantity or value of tangibles (as well as a greater incentive for governments to engage in tax competition). When zero marginal cost associates with supplying/licensing additional units of an intangible, the optimal (i.e., internal equilibrium) quantity of intangible intra-firm trade exceeds that for tangible intra-firm trade, ceteris paribus. Therefore, for a given national tax rate
differential, MNCs confront a larger potential tax savings for each unit of TP adjustment, creating a stronger incentive to select a NTP outside the arm’s length boundary. This incentive, 39 coupled with the inexact nature of valuing intangibles and their arm’s length TPs (royalties), implies that, in practice, TPing abuse for intangible transfers probably exceeds that for tangible transfers by a significant amount. Therefore, TPing for intangibles is expected to be a prominent
issue for tax authorities, which becomes all the more important as a large portion of international trade occurs through intra-firm transfers, with an increasing portion involving intangible assets.