Nama
Kelompok:
·
Suhariana Habibah (27212181)
·
Talentia Kristi (27212283)
Kelas:
4EB13
Judul
PENETAPAN HARGA
TRANSFER DALAM KAJIAN PERPAJAKAN
Tahun 2009
Latar Belakang
Sejak tumbuhnya usaha secara konglomerasi
maka muncullah grup perusahaan yang merambah semua lini bisnis dari hulu ke
hilir. Dunia bisnis tidak lagi hanya berkiprah di tempat kedudukan asalnya,
untuk memperkuat kedudukan bisnisnya perusahaan membuka cabang atau anak
perusahaan baik secara nasional, regional, maupun internasional.
Dengan adanya usaha konglomeras ini,
kita mengenal berbagai macam nama grup perusahaan terkenal yang merambah dunia
bisnis secara nasional, regional maupun internasional. Selanjutnya
perusahaan-perusahaan membentuk holding
company untuk mengkoordinasikan bisnis mereka.
Dalam menentukan harga, imbalan, dan
lain-lain antar mereka, biasanya ditentukan berdasarkan kebijkan harga transfer
transfer pricing yang ditentukan oleh
holding company yang dapat sama atau
tidak sama dengan harga pasar. Keputusan harga dan imbalan yang diputuskan
tentu telah melalui pertimbangan dan kajian yang mendalam dan secara
keseluruhan akan mengguntungkan grup, Yani (2001).
Dalam penulisan
makalah ini, kami mencoba
menguraikan aspek transfer
pricing
dilihat dari sisi akuntansi dan sisi perpajakan yang terjadi pada
perusahaanperusahaan yang telah diuraikan diatas.
Tujuan
1. Penentuan Harga Transfer atas Dasar Biaya
(Cost Based-Transfer Pricing)
2.
Penentuan Harga transfer atas Dasar
harga Pasar (Market-Based-Transfer
Pricing
3. Negosiasi ( Negotiated Transfer pricing)
Objek penelitian
Perpajakan
Pembahasan
Transfer pricing didefenisikan sebagai
suatu harga jual
khusus yang dipakai dalam
pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan
biaya divisi pembeli
(buying division). Tujuan
utama dari transfer pricing adalah mengevaluasi dan
mengukur kinerja perusahaan. Tetapi sering juga transfer pricing
digunakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional
untuk
meminimalkan jumlah
pajak yang dibayar
melalui rekayasa harga
yang ditransfer antar divisi.
Kunci utama keberhasilan transfer pricing dari sisi pajak adalah adanya
transaksi karena adanya
hubungan istimewa.(Yenni ;2000).
Banyak literatur yang memberikan definisi tentang transfer pricing, dalam tulisan ini diutarakan sebagai berikut
yaitu :
a) Harga
transfer (transfer price)
adalah harga yang
ditagihkan untuk barang
yang
ditransfer dari satu divisi ke divisi lainnya.Hansen (2007).
b) Transfer Price – the price one subunit
(department or division) charges for a
product or
service supplied to
another subunit of
the same organization.
Hongren
(2006).
c) Transfer pricing adalah sebagai nilai yang melekat pada pengalihan barang
dan jasa
pada suatu transaksi
antara pihak yang
mempunyai hubungan
istimewa.
Primanto (2002).
d) Transfer
pricing berkaitan erat
dengan harga transaksi
barang, jasa, atau
harta
tak berwujud antar perusahaan dalam suatu perusahaan multinasional.
Yani
(2001).
1. Penentuan Harga Transfer atas Dasar Biaya
(Cost Based-Transfer Pricing)
Mayoritas perusahaan
menggunakan transfer pricing
atas dasar biaya
(Cost Based), Cuma yang
menjadi permasalahan adalah
banyaknya definisi biaya (cost)
yang dapat digunakan.
Sebagian perusahaan mungkin menggunakan biaya variabel (variable
cost) dan sebagian lagi menggunakan biaya penuh (full cost), atau
beberapa menggunakan biaya
standar (standart Cost)
dan yang lainnya menggunakan
biaya aktual (actual cost).
2. Penentuan Harga transfer atas Dasar harga
Pasar (Market-Based-Transfer
pricing)
Jika
barang atau jasa yang ditransfer antar divisi
atau antar perusahaan dalam
grup perusahaan
multinasional mempunyai harga
pasar, maka pada
umumnya
harga pasar
tersebut merupakan dasar
yang adil terutama
dilihat dari sudut pengukuran kinerja. Harga pasar
diperoleh dari daftar harga yang dipublikasikan untuk barang atau jasa yang
sejenis dengan produk atau jasa yang ditransfer atau diperoleh dari harga yang
dibebankan oleh divisi yang memproduksi jika divisi tersebut menjual kepada pihak
luar, Horngren (2006).
3. Negosiasi ( Negotiated Transfer pricing)
Penentuan harga
transfer berdasarkan negosiasi
jika setiap divisi atau perusahaan
dalam grup perusahaan multinasional memiliki komitmen otonomi atau desentralisasi, maka
setiap manajer akan
melakukan negosiasi apabila
akan dilakukan transfer barang
atau jasa. Dalam
negosiasi manajer-manajer harus memperhatikan biaya
produksi (cost) dan
harga pasar, dan
mereka juga harus memiliki pengetahuan
yang bagus tentang keinginan
perusahaan secara keseluruhan,
Horngren (2006). Menurut ilmu manajemen
Transfer pricingakan dapat memberikan hasil yang maksimal
jika Prerequisite condition dapat dipenuhi.
Menurut pakar manajeman.
Motivasi
dan Implikasi Pajak Dalam Transfer Pricing
A. Motivasi Pajak DalamTransfer pricing
Diatas telah
dijelaskan bahwa bagi
perusahaan multinasional melakukan transfer pricingadalah untuk
meminimalkan kewajiban pajak global perusahaan mereka, Horngren
(2006). Transfer pricing tersebut bermula
dari usaha pengendalian yang
dilakukan oleh satu
pihak terhadap pihak
lainnya melalui kepemilikan seperti
antara induk dengan anak
perusahaan atau antar perusahaan affiliasi
dan kebijakan transfer
pricing diarahkan kepada maksimisasi
efisiensi grup secara totalitas. Motivasi
pajak dalam transfer
pricing pada perusahaan multinasional
tersebut dilaksanakan dengan cara
sedapat mungkin memindahkan
penghasilan ke negara dengan
beban pajak terendah atau minimal dimana di negara tersebut ada grup
perusahaan mereka yang
beroperasi, Yani (2001).
Dengan adanya pemindahan penghasilan
tersebut maka pajak
yang dibayar secara keseluruhan akan rendah, sedangkan
bagi negara yangmenerapkan tarif pajak tinggi
grup perusahaan mereka
yang ada di
negara tersebut bisa
saja dibuat rugi melalui
kebijakan transfer pricing. Akhirnya, total
laba setelah pajak secara keseluruhan akan lebih besar jika dibandingkan kalau
tidak melakukan transfer pricing.
B.
Implikasi Pajak Dalam Transfer pricing
Menurut Gunadi
(2006) transfer pricing menyebabkan ketidakadilan
dalam
perpajakan karena
perbedaan struktur perusahaan.
Perusahaan yang dipecahpecah
menjadi suatu grup
dapat merekayasa laba
sehingga meminimalkan pajak.
Sementara itu,
perusahaan tunggal harus
membayar pajak seperti
apa adanya.
Untuk menegakkan
keadilan perpajakan dimaksud,
buku Tax Law Design
and
Drafting
terbitan IMF 1996, merekomendasikan dua pendekatan. Pertama, dengan
merumuskan
dalam ketentuan domestik, suatu negara dapat mengambil laba global
grup
dan mengalokasikan sebagian laba tersebut berdasar formula tertentu kepada
sumber
yang berada di negaranya dan kemudian memajaki bagian laba dimaksud.
Aturan
Perpajakan Tentang Transfer pricing
Berdasarkan Pasal
18 ayat (3)
Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 sebagaimana dan perubahan
lainnya, terakhir diubah
dengan Undang-undang Nomor 36
tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal Pajak diberikan kewenangan untuk
menentukan kembali besarnya penghasilan
dan pengurangan serta menentukan
kembali besarnya penghasilan
dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya jumlah Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubunganistimewa sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang
tidak dipengaruhi hubungan istimewa. Dari pasal tersebut yang dimaksud dengan hubungan istimewa adalah
sesuai dengan pasal 18
ayat (4) UU Pajak Penghasilan
yaitu hubungan istimewa yang timbul karena adanya tiga hal, yaitu:
a)
adanya penyertaan modal
baik langsung maupun
tidak langsung dengan jumlah
minimal 25%, hal
ini berlaku pula untuk
hubungan antar wajib pajakwajib pajak
yang dimiliki oleh
suatu dengan penyertaan
masing-masing minimal 25%.
Contoh
: A memiliki saham B sebesar 50% dan B memiliki saham C sebesar 50% maka
A dianggap memiliki
C sebesar 0% dari 50%
yaitu 25% sehingga masih masuk
dalam kategori hubungan
istimewa. Contoh lain
A memiliki saham B sebesar 25%
dan A memiliki C sebesar 25% maka B dan C dianggap memiliki hubungan istimewa.
b)
Adanya penguasaan baik
secara langsung maupun
tidak langsung, yang dimaksud penguasaan di sini adalah
manajemen dan teknologi.
c)
Adanya hubungan keluarga
baik sedarah maupun
semenda dalam garis keturunan lurus atau samping satu
derajat.
Dasar dari
penentuan kembali penghasilan
dan pengurangan seperti disebutkan pada Pasal 18
ayat (3) UU
Pajak Penghasilan adalah
kewajaran dan kelaziman usaha
dari Wajib Pajak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Pada saat ini
petunjuk penanganan kasus-kasus
transfer pricing adalah
Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak nomor: SE-04/PJ.7/1993 tanggal
September 1993 dan pedoman
bagi pemeriksa pajak
untuk mneyelesaikan masalah
transfer pricing adalah Keputusan
Dirjen Pajak Nomor
Kep-01/PJ.7/1993 tanggal 3
September 1993.
Dalam SE-04/PJ.7/1993 disebutkan
contoh-contoh
kekurangwajaran yang terjadi
dalam suatu transaksi antar pihak yang mempunyai hubungan istimewa yaitu:
a)
dalam hal jual beli
b)
dalam hal alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost)
c)
dalam hal pembebanan bunga atas pinjaman dari pemegang saham
d)
dalam hal pembayaran komisi, lisensi, francise, sewa, royalty, imbalan atas
jasa
teknik
dan imbalan atas jasa lainnya
e)
pembelian harta perusahaan
dari pemegang saham
atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih
rendah dari harga pasar
f) penjualan kepada pihak luar negeri melaui
pihak ketiga yang tidak atau kurang
memiliki
substansi usaha.
Jika terjadi kasus kekurangwajaran
seperti disebutkan di atas, Undang-undang
perpajakan
kita menganut asas material (substance
over form), maksudnya adalah
keadaan
substansi transaksi yang dijadikan dasar untuk melihat wajar atau tidaknya
dari
suatu transaksi.
Sedangkan untuk
menghindari adanya penyeludupan
pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional
melalui transfer pricing, pemerintah
Indonesia telah mengantisipasinya
melalui kerjasama dan
pertukaran informasi dengan
negaranegara lain. Hal ini diatur dalam Keputusan MenteriKeuangan No.
94/KMK.01/1994 tanggal 29 Maret 1994 tentang Organisasi dan Tatakerja
Direktorat Jenderal Pajak pasal 79 yaitu : Subdirektorat Evaluasi dan Informasi
Perpajakan mempunyai tugas mengumpulkan
informasi perpajakan dari
negara lain dalam
rangka mencegah penghindaran dan
penyeludupan pajak dalam
bentuk transfer pricing
atau bentuklainnya, melaksanakan
pertukaran informasi perpajakan
dengan negara lain, melaksanakan evaluasi
pelaksanaan perjanjian perpajakan
dan kerjasama internasional di
bidang perpajakan serta
menelaah hubungan ekonomi
keuangan dan peraturan perpajakan lain.
Kesimpulan
Dari hasil
pemaparan makalah di
atas, dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai
penutup tulisan ini yaitu :
1. Transfer
pricing dapat ditentukan dengan
menggunakan dasar-dasar
pendekatan
:
Cost Based-Transfer pricing
Market Price-Tansfer Pricing
Negotiated Transfer pricing
2. Untuk mengatur transfer pricingini, undang-undang memberikan
kewenangan
kepada pihak
fiskus untuk menentukan kembali
jumlah harga transfer antar
pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa.
3. Pada perusahaan multinasional yang sering
melakukan transaksi internasional
(cross border)
praktik transfer pricing sering digunakan
untuk memaksimisasi
efisiensi
grup secara totalitas.
4. Motivasi pajak dalam transfer pricingpada perusahaan multinasional
tersebut
dilaksanakan dengan
cara sedapat mungkin
memindahkan penghasilan ke
negara
dengan beban pajak terendah atau minimal dimana di negara tersebut
ada
grup perusahaan mereka yang beroperasi.
5. Transfer pricingjika dilakukan berdasarkan
harga pasar tidak memiliki implikasi
perpajakan, sebaliknya
jika tidak menggunakan
dasar harga pasar pada
umumnya memiliki
implikasi perpajakan yaitu
terjadinya perpindahan
penghasilan.
6. Dengan adanya pemindahan penghasilan tersebut
maka pajak yang dibayar
secara keseluruhan
akan rendah. Akhirnya,
total laba setelah
pajak secara
keseluruhan
akan lebih besar jika dibandingkan kalau tidak melakukan transfer
pricing.
7. Di
Indonesia indikasi terhadap
transaksi transfer pricing dapat
dilihat jika
terdapat ketidakwajaran dalam
transaksi dan perusahaan
yang saling
bertransaksi
memiliki hubungan istimewa.
Judul : PENETAPAN HARGA TRANSFER DALAM DUA
PERSPEKTIF TEORITIS
Tahun 2010
Latar Belakang
Banyak literatur diawal tahun 1950an tentang ilmu akuntansi,
ilmu managemen, dan ilmu ekonomika membahas tentang permasalahan terkait harga transfer.
Para penulis menganjurkan solusi terkait dengan permasalahan ini dengan analogi
dari permasalahan harga internal untuk menentukan harga pasar yang kompetitif
dari ilmu ekonomi tradisional (Watson dan Baumler, 1975). Yang dimaksudkan
disini adalah terjadinya proses tawar menawar dari para pelaku pasar (produsen
dan konsumen) sehingga membentuk harga pasar. Namun yang menjadi pertanyaan
adalah, apakah solusi terkait dengan model harga pasar ini dapat diterapkan.
Sugiri (2009) menyebutkan bahwa model ini sangat tepat digunakan sebagai
penentu harga transfer ketika pasar tersebut adalah pasar persaingan sempurna
(perfectly competitive). Artinya, terdapat kondisi ideal yang musti terpenuhi,
yaitu adanya harga pasar eksternal dan bersifat persaingan sempurna,serta
adanya kebebasan untuk membeli atau menjual produk tersebut dari dan kepada pihak
eksternal.
Dalam
realitanya, pasar persaingan sempurna hampir tidak ada. Dalam banyak hal,
produsen dapat mengambil tindakan yang mempengaruhi harga pasar. Misalnya produk
yang dijual perusahaan (dalam hal ini divisi penjual) sedemikian besarnya sehingga
menurunkan harga pasar. Ini merupakan contoh ketidaksempurnaan pasar, sehingga
harga pasar kurang cocok digunakan sebagai penentu harga transfer. Dalam kasus
demikian, harga transfer negosiasian (negotiated transfer pricing), merupakan alternatifnya.
Ghosh (2000) menegaskan bahwa negosiasi merupakan sebuah metodayang umum
digunakan oleh banyak perusahaan dalam menetapkan harga transfer. Kachelmeier
dan Towry (2002) menyebutkan bahwa meski harga pasar eksternal tersediapun,
harga transfer negosiasian berpotensi digunakan sebagai mekanisme kontrol,serta
memberikan keseimbangan antara pertimbangan ekonomik dan perhatian sosial yang luas
oleh divisi-divisi yang independen. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan
bahwa penetapan harga transfer dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi seperti
harga pasar eksternal dan faktor-faktor perilaku termasuk keadilan (fairness)
dan pembingkaian (framing) (lihat Luft & Libby, 1997; Ghosh dan Boldt,
2006; Changet, al,2008).
Sesuai
dengan judul yang disajikan, artikel ini akan menyajikan beberapa hal terkait
penetapan harga transfer dalam 2 perspektif teoritis yang berbeda. Dua
perspektif teoritis yang akan dibahas disini yaitu, ekonomika dan psikologi.
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menyajikan kekayaan wilayah studi
akuntansi yang sudah merambah pada berbagai perspektif disiplin ilmu, bukan
hanya ekonomika saja, tetapi juga psikologi1. Khusus untuk topik penetapan
harga transfer, rekaman perkembangan dan penemuan baru yang bersentuhan dengan
berbagai disiplin ilmu, setidaknya memperluas pengetahuan dan pemahaman akan
variabel-variabel apa saja yang saling terkait dalam mempertimbangkan penetapan
harga transfer.
Tujuan
Untuk menyajikan kekayaan wilayah
studi akuntansi yang sudah merambah pada berbagai perspektif disiplin ilmu
ekonomika saja dan psikologi.
Pembahasan
Harga
transfer mempunyai pengaruh terhadap laba divisi pembeli maupun penjual serta
laba perusahaan sebagai satu kesatuan sebagai berikut: 1. Bagi divisi pembeli,
harga transfer merupakan bagian dari kos produk, sehingga ketika kos tersebut
ditandingkan (setelah produk terjual) dengan pendapatan selama satu perioda akuntansi
yang sama, akan mempengaruhi laba. 2. Sebaliknya, bagi divisi penjual, harga
transfer merupakan bagian dari pendapatan, sehingga ketika biaya terkait
ditandingkan dengan pendapatan selama satu perioda akuntansi, akan mempengaruhi
labanya. 3. Bagi perusahaan, andaikan secara ekonomis kos produk yang relevan
untuk memproduksi barang antara (intermediate product) justru lebih murah
daripada harga produk di pasar eksternal, sedangkan divisi-divisi tidak sepakat
melakukan harga transfer, maka laba perusahaan akan menjadi buruk, terutama
ketika jumlahnya sedemikian signifikan. Selain pengaruhnya terhadap laba, harga
transfer juga memiliki dampak pada autonomi divisi. Ketika laba perusahaan
terpengaruh, maka top managemen akan terdorong untuk melakukan intervensi
terhadap keputusan membeli dari pihak eksternal ataupun memproduksi secara
internal. Bentuk intervensi ini berpeluang untuk mengurangi autonomi dari tiap
divisi yang terlibat dalam harga transfer. Untuk menjaga autonomi divisi yang
ada, perusahaan tidaklah menentukan berapa rupiah besarnya harga transfer, melainkan
menetapkan kebijakan (aturan) yang secara wajar dapat diterima oleh
masing-masing manager divisi. Kebijakan itu meliputi dasar-dasar penetapan
harga transfer berikut: 1. Harga pasar (market-based transfer price). 2. Kos
(cost-based transfer price). 3. Harga negosiasian (negotiated transfer
pricing).
Metoda-Metoda Harga Transfer Serta
Perbandingannya:
1.Harga Pasar (market-based transfer
price).
Harga pasar merupakan harga produk (barang
atau jasa) yang terjadi di pasar eksternal sebagai hasil akhir dari proses
tawar menawar seluruh pelaku pasar (produsen dan konsumen). Jika pasar tersebut
adalah pasar persaingan sempurna, maka harga pasar sangat tepat menjadi harga
transfer. Pada situasi demikian, berbagai tindakan manager divisi akan
mengoptimalkan laba divisi serta laba perusahaan secara simultan. Jadi, harga
pasar dianggap dapat menciptakan goalcongruence (kinerja manager untuk mencapai
tujuan pribadi dan divisinya, juga dapat mencapai tujuan perusahaan secara
keseluruhan)
2. Kos (cost-based transfer price).
Harga pasar eksternal kerap tidak
tersedia. Hal ini bisa terjadi karena produk yang ditransfer menggunakan disain
yang memiliki hak paten perusahaan induk. Dalam kasus ini, bisa digunakan
pendekatan penetapan harga transfer berdasarkan kos. Ketika harga yang
ditetapkan adalah senilai kos, maka ada kemungkinan, divisi penjual tidak
mendapatkan laba. Untuk kepentingan bersama, maka kos oleh organisasi dapat
didefinisikan sebagai kos plus, yaitu penetapan harga transfer ditetapkan
berdasar kos ditambah margin sesuai kebijakan.
3.Harga transfer negosiasian
(negotiated transfer pricing).
Dalam realita, pasar persaingan
sempurna hampir tidak ada. Dalam kondisi seperti ini, pendekatan penetapan
harga transfer melalui negosiasi kedua divisi adalah alternatif praktis. Ghosh
(2000) menegaskan bahwa negosiasi merupakan sebuah metoda yang umum digunakan
oleh banyak perusahaan dalam menetapkan harga transfer.
PENETAPAN HARGA TRANSFER DALAM DUA
PERSPEKTIF TEORITIS
Dalam
studi terkait topik harga transfer, sebenarnya ketiga perspektif teoritis yaitu
ekonomika, psikologi, dan sosiologi dapat digunakan secara bersama-sama. Hal
ini dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan Ghosh dan Boldt (2006), yaitu
menggunakan teori yang dikembangkan dalam psikologi serta teori ekonomika dalam
pengembangan hipotesis penelitian. Demikian halnya dengan penelitian yang
dilakukan oleh Chan (1998). Dalam penelitian ini, pengembangan hipotesis
penelitian
menggunakan teori yang dipinjam dari
teori yang dikembangkan dalam bidang ilmu psikologi, ekonomika serta sosiologi
secara bersama-sama. Dari kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa keterkaitan dari
ketiga teori dalam tiga bidang ilmu yang masuk dalam ilmu-ilmu sosial ini,
secara berintegrasi, dapat menjelaskan serta memberi pemahaman terhadap suatu
fenomena sosial, sebagaimana yang terjadi pada fenomena harga transfer secara
lebih komprehensif.
Pemahaman
yang komprehensif ini sendiri dapat bermanfaat bagi para peneliti
dari suatu bidang ilmu yang terkait.
Misal para peneliti dari bidang ilmu ekonomika yang memiliki asumsi bahwa semua
manusia adalah rasional serta keadaan adalah stabil. Mereka dapat memahami
kondisi yang berkebalikan dari asumsi yang mereka
pahami, dengan menggunakan teori
psikologi yang menyatakan bahwa manusia memiliki bias karena adanya
keterbatasan rasional (yang dijelaskan oleh teori psikologis) serta ketidakstabilan
kondisi ekonomi karena adanya faktor sosiologis seperti budaya yang ada pada
suatu negara. Namun perlu dipahami bahwa, seringkali peneliti yang
berpengalaman dalam satu perspektif teoritis sering mengalami kesulitan untuk
mengambil keuntungan penuh dari bantuan yang ditawarkan oleh hasil penelitian
pada perspektif yang berbeda.
Hal ini disebabkan oleh 4 hal yaitu:
1 .Seringkali penelitian pada
masing-masing perspektif mempergunakan penyebutan
yang berbeda untuk variabel yang
sebenarnya sama (atau serupa).
2. Mempergunakan penyebutan yang sama
untuk variabel yang berbeda.
3. Membuat penyederhanaan asumsi
berbeda yang digunakan (hal ini tidak selalu dengan tegas diidentifikasi)
4. Memiliki suatu perbedaan fokus
perhatian utama (juga tidak selalu dengan tegas
diidentifikasi).
Dengan
berpedoman pada apa yang dilakukan Covaleski et al. (2003) pada topic
penganggaran, bagian selanjutnya dalam tulisan ini akan membahas berbagai teori yang
digunakan dalam dua perspektif yang ada dalam penelitian
Perspektif Ekonomika
Dalam
penelitian harga transfer yang menggunakan teori-teori ekonomika, pertanyaan
penelitian yang muncul adalah apakah nilai ekonomis dari praktek penetapan harga
transfer untuk pihak-pihak yang terlibat, seperti perusahaan sebagai satu
kesatuan ataupun divisi-divisi yang berperan sebagai penjual dan pembeli.
Menurut Gox dan Schiller (2007), penelitian-penelitian ekonomika terkait harga
transfer kebanyakan berbasis pada model-model ekonomi mikro seperti teori
keagenan (agency theory) dan teori permainan (game theory).
Teori
keagenan didasarkan atas berbagai aspek dan implikasi hubungan antara prinsipal
(principal) dan agen (agent), yang di dalamnya agen bertindak atas nama
danuntuk kepentingan prinsipal, atas tindakan (actions) tersebut agen mendapat
imbalantertentu. Hubungan ini biasanya dinyatakan dalam bentuk kontrak. Dalam teori
keagenan, agen biasanya dianggap sebagai pihak yang ingin memaksimumkan dirinya
tetapi tetap selalu berusaha memenuhi kontrak. Diawal pembahasan telah
disebutkan bahwa penetapan harga transfer terus diperdebatkan karena efek
negatif yang ditimbulkan dalam organisasi (McAulay dan Tomkins, 1992). Dalam
kaitannya dengan teori keagenan, efek negatif ini mendorong prinsipal untuk
lebih melakukan pengendalian serta pengawasan terhadap agen yang cenderung
opportunis.
Perspektif Psikologi
Menurut
Birnberg et al. (2007), psikologi adalah ilmu tentang pikiran (mind)
(yaitusikap, kognisi, motivasi) dan perilaku (tindakan serta komunikasi)
manusia. Berbeda dengan teori-teori ilmu sosial lainnya, penelitian bidang
akuntansi managemen yang menggunakan teori-teoripsikologi lebih berfokus pada perilaku individu
dibandingkan perilaku organisasi ataupun sosial, dan pada fenomena subyektif
seperti representasi mental dibandingkan fenomena obyektif seperti harga pasar
dan kuantitas atau ukuran perusahaan dan teknologi. Covaleski et al. (2003)
menyebutkan 2 asumsi yang ada pada penelitian akuntansi managemen khususnya
pengangg
aran yang berbasis pada teori-teori
psikologi yaitu:
1. Bahwa perilaku adalah memiliki
keterbatasan rasionalitas (bounded rationality) dan satisficing
2. Bahwa individu akan mencari atau
menginginkan keseimbangan internal atau pribadi (internal or single-person
equilibrium) sebagai bagian dari keterbatasan rasional (bounded rationality)
dan
satisfacing mereka.
Hal
ini dapat terjadi juga pada penetapan harga transfer. Misal ketika dalam proses
negosiasi yang berjalan lama dan alot, individu yang terlibat merasakan jenuh,
lelah, dan bosan (kondis burnout), sehingga informasi yang diberikan kemudian,
meski merupakan informasi yang penting untuk judgment yang diberikan bagi
penetapan harga transfer, tidak lagi dapat digunakan untuk menentukan
keputusan. Hal ini membawa dampak pada keputusan yang diambil akan bias (
heuristic biases). Dikemudian hari
yang ada hanya penyesalan dan ini bukti ketidakkonsistenan karena adanya
keterbatasan rasionalitas (hal ini dapat dijelaskan dengan cognitive dissonance
theory). Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan-penelitian terkait harga transfer.
Kesimpulan
Dalam penelitian-penelitian akuntansi managemen, banyak
ditemukan teori-teori yang dikembangkan pada bidang ilmu lain (selain
akuntansi) dalam pengembangan hipote sis penelitiannya. Teori-teori ekonomika,
teori psikologis, serta teori sosiologis dipakai bergantian dan secara
bersamaan dalam menjawab fenomena yang terjadi dalam bidang ilmu akuntansi
managemen. Dengan berbagai asumsi yang melandasi teori-teori tersebut,
sesungguhnya teori-teori ini saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Hal
ini menimbulkan kesan bahwa sesungguhnya dalam ilmu sosial sebagaimana
akuntansi, akan senantiasa bersentuhan dengan bidang ilmu yang lain untuk dapat
menjawab setiap fenomena yang muncul, baik perilaku organisasi, individu,
ataupun dengan lingkungan.
Terkhusus
harga transfer negosiasian, adalah merupakan satu dari beberapa metoda penetapan
harga transfer yang digunakan pada organisasi yang terdesentralisasi. Dengan segala
kelebihan dan kekurangannya, metoda ini terbukti efektif dalam menjaga autonomi
divisi, sehingga pengukuran kinerja secara obyektif dapat didasarkan pada laba
divisi. Meski masih menjadi perdebatan karena mungkin terdistorsi oleh
kemampuan managernya dalam bernegosiasi. Penelitian yang dilakukan Chalos dan
Haka (1990) menyatakan bahwa terdapat monopoli bilateral dalam harga transfer,
telah sesuai dengan apa yang diprediksi oleh teori negosiasi, yaitu: 1. Sistem
reward yang berorientasi pribadi (divisional) membawa kepada hasil yang lebih
berbeda daripada insentif yang lebih kooperatif; 2. Laba perusahaan akan
meningkat dengan pengalaman; 3. Bertambahnya ketidakpastian pada suatu skema
reward divisional, akan meningkatkan konflik; 4. Skema insentif campuran akan membawa
kepada frekuensi terbesar dari baik hasil yang merupakan keuntungan (advantageous)
dan hasil yang integratif.
Tittle
:
Multinational Transfer Pricing and
International Taxation: What, Why, How and Reporting Challenges (2009)
Introduction
Today globalized
markets, international foreign direct investment, and worldwide procurement combine to create a
complex, integrated and dynamic business environment. Transfer prices are the
value assigned to intermediate goods, which move between the divisions of a
vertically integrated firm. The transfer or movement of raw materials, parts,
or partially finished goods may occur in the context of either national or
international production process. Intra-firm trade which includes services,
technology, capital goods, intermediate goods, and finished goods for resale,
constitutes a significant portion of world trade. In general, governments
constrain transfer pricing decision choices through trade policy, foreign
direct investment incentives, labor laws, foreign exchange rates, currency
regulations, local content requirements, traditional business practices and
taxation. Taxation has remained an ever-green subject for business groups and
continues to remain so.
The
multinational firms want to maximize shareholder value through higher stock
prices, a function of current and long term profits. To this end they try to
minimize taxes. As Williamson (1975) pointed out, when a firm expands its
operations either domestically or internationally, transactions are influenced
by the visible hand of managerial authority rather than the invisible hand of
the competitive price system. Accordingly, one of the primary advantages of a
multinational firm versus a domestic corporation lies in its flexibility to
transfer resources across borders through a globally maximizing network (Kogut,
1983). “It is clear that the potential for tax arbitrage that results from
globalisation creates a considerable and continuing incentive for domestic
companies to internationalize their business (Plender and Simon, 2004)”. Since
transfer prices are the value assigned to intermediate goods, which move
between the divisions of a vertically integrated firm, the fact that they are,
related party transactions between organizational units can reduce the expected
macroeconomic benefits. Intrafirm trade differs from basic arms length
transactions between unrelated parties because it is shaped by the global
parent’s strategy to control upstream supplies and downstream markets
(Encarnation, 1994; Eden, 1994). Plender and Simon’s (2004) investigation
suggests transfer pricing threatens global tax revenues, they conclude the “tax
authorities face substantial difficulties in unraveling complex operations
between subsidiaries of multinational groups”. Back in 1973 this kind of trade
accounted for one third of all US goods (Lall, 1973). By 1996 US intra-firm
trade with overseas manufacturing affiliates reached $243 billion (Monthly
Bulletin of Statistics, 1998). This
trend is not limited to US firms; Department of Commerce figures, worldwide
two-way intra-firm trade increased from 102 billion in 1977 to 337 billion
(Tang, 1990). Regional trade agreements such as NAFTA
and the European
Union accelerate the trend (Zwick, 1998). In 2004 intracompany trade among
corporate subsidiaries “accounted for 46% of the $1.33 trillion US imports and
31% of $731 billion in exports (Sunday Tribune, 2004). Here I discuss about
Transfer Pricing as a distinctive concept of 'International Taxation', its
meanings and attributes (in 'What'), its significance and need (in 'Why'); its
implementation and other related issues (in 'How'); and the reporting
challenges (the problems and strategies). The accounting and economics
literature, government documents and business publications have been reviewed
to uncover the underlying rationale for various government regulations.
Analysis Tool
There are essentially two ways of negating
Transfer Pricing effects i.e. for determining the arm's length price. These
are;
1.
Transactional
methods,
· Comparable Uncontrollable Price Method
· Cost Plus Method
· Resale Price Method
2.
Non-transactional
methods (Taylor, 2008; The Tax Executive, November/December 2003),
· Profit Split Method
· Transactional Net Margin Method
Discussion
1.
How
Transfer Pricing Rules are implemented?
For
companies which undertake transactions with related parties, there
certainly
are mechanisms designed in place to record the details of
transaction
to precise details to prove before the taxation authorities that the
prices
charged reflect a fair value (Tang, 1993, Ernst & Young 1991,
Borkowski
1990; Springsteel, 1999).Even otherwise, these transfer pricing
rules
are integrated in the tax systems in a precise detail as the nonintegration
would
imply losing out on prospective revenues and therefore the
tax
authorities must exercise due care to ensure that things relating to transfer
pricing
are in order. Tax authorities will no longer accept transfer-pricing
documentation as evidence that tax returns are filed in accordance with the
arm's length
principle.
Globally, tax authorities are increasingly querying whether transfer
pricing
policies have been implemented correctly, and if they are being
calculated
correctly on a yearly basis. Figure 2 outlines the steps associated
with
a leading practice in transfer pricing care and maintenance strategy.
To
reduce compliance risks, corporate treasuries should ensure that transfer
pricing
policies are implemented correctly, and the implementation process
should
regularly be assured (either by internal audit or a third party).
In
fact most countries offer an 'Advanced Transfer Pricing' (APA) agreement
which
the companies operating in their territory can enter into. This saves the
re-computation
of figures in future as the companies agree to follow a
particular
methodology for dealing with related parties, as the host country
would
tell them to under the APA. Also an approach is suggested to
corporate
treasuries in achieving efficiency in transfer pricing
implementation.
It’s called the potential transfer pricing risk and opportunity
assessment
model.
2.
Assessment
of Potential Transfer Pricing Risks and Opportunities
The
transfer pricing risk and opportunity assessment framework presented
below
can be utilised by corporate treasurers to assess if they have either a
potential
transfer pricing risk exposure, or alternatively an opportunity to
structure
their operations in a more tax-efficient manner. As the hunters
learn
to shoot without missing, the birds are also learning to fly without
perching.
This is intriguing and can also be used to the advantage of the
government.
3.
The
Reporting Challenges
The
level of the transfer price will have implications for the underlying
taxable
profitability of the different legal entities. Tax authorities are
concerned
that some multinationals might manipulate transfer prices to
obtain
unjustified tax arbitrage between high- and low-tax countries. To
address
this concern, tax authorities require companies to demonstrate that
transactions between legal entities have
been entered into on an arm's length
basis, that is, in a manner that is
consistent with dealings between parties. For example, in an instance where the
corporate treasury gives a guarantee to a third-party bank for a loan entered
into by an affiliate, due consideration should be given to the guarantee fee
paid by the subsidiary to the company carrying on the treasury activities. The
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) Guidelines on
Transfer Pricing for Multinational Enterprises and Tax Administrations (OECD
Guidelines) set out guidance on how to determine arm's length transfer prices.
The OECD Guidelines form the basis of many countries' local transfer pricing
legislation. However, it is recognised by the OECD that it can be difficult to
price some transactions, especially financial transactions that occur between
connected parties.
4.
What
Type of Transactions Give Rise to a Potential Transfer Pricing Exposure?
All services provided by a corporate
treasury to group companies give rise to
an
inter-company transaction that should be priced in accordance with the
arm's
length principle. Andrews, Ernst and Young, (2008) typically observe
that
clients' corporate treasuries are engaged in the following types of
intercompany
transactions
ıInter-company funding:
•
Cash pooling.
•
Provision of financial guarantees.
•
ıAsset management of surplus cash.
•
Foreign exchange and commodity risk management.
•
Payments and netting services.
•
ıFactoring and forfaiting of receivables.
•
Carbon trading.
•
Arranging of global credit facilities.
•
Captive insurance of group risks.
CONCLUSION : It is concluded that groups regularly
reassess their transfer pricing policies to ensure that they are consistent
with the arm's length principle. By reassessing treasury transfer pricing
policies, groups can ensure that they identify any opportunities to obtain tax
efficiencies. This can also help them reduce the likelihood of transfer pricing
enquires, which can be very costly and time consuming and can result in additional
tax, interest and transfer pricingrelated penalties. Solid transfer price
documentation translates directly into bottom line (Bobbin, 1998). Lopatin
(2003) suggests it is really impossible to know how much tax a transnational
corporation has paid in each jurisdiction or territory. Therefore, transfer
pricing manipulation will flourish as long as there is “no obligation to report
the split between third-party and inter-group trading”.
Tittle
Optimal
Negotiated Transfer Pricing and Its Implications for
International
Transfer Pricing of Intangibles (2009)
Introduction
Thirty to 60
percent of international trade occurs through intra-firm trade between related
or controlled divisions of multinational corporations (MNCs) (Guttman 1999; Stanley
2001; Diewert, Alterman, and Eden 2005) at prices, called “transfer prices”
(TPs), that are determined within a MNC rather than at arm’s length in an
external market. The extent of internal MNC trade creates a substantial
opportunity for MNCs to adjust TPs to shift profit earned in high-tax countries
to related corporate entities or divisions in low-tax or tax-haven countries.
This opportunity, coupled with a MNC’s fiduciary imperative to maximize
world-wide after-tax profit, raises governmental concerns about abusive
transfer pricing (TPing) practices. In an unpublished federally-funded study of
U.S. Customs data, Pak and Zdanowicz (2002) report
dramatic
over-invoicing of U.S. imports and under-invoicing of U.S. exports, creating an
estimated aggregate $53.1 billion loss in U.S. federal tax revenue in 2001
(Diewert, Alterman, and Eden 2005, p. 4; Dorgman 2002). Eden (2003) concludes
“empirical evidence for transfer pricing manipulation exists but is not
overwhelming” (p. 7), while Diewert, Alterman, and Eden (2004) argue that, in
general, the empirical literature on the extent of TPing manipulation proves
“mixed” (p. 3). This paper develops an optimal negotiated transfer pricing
bargaining structure, and examines the strength of incentives for TPing abuse
for tangible versus intangible intra-firm
trade from an
economic perspective. Under negotiated transfer pricing (NTPing), a concern is
the ability of a MNC to create goal congruence without sacrificing division
autonomy (Hansen and Kimbrell 1991; Chalos and Haka 1990). Although
negotiation
may foster greater divisional autonomy for performance evaluation and better
integration of divisional and firm profit objectives[,] …these negotiation
advantages may be outweighed by bargainer practices such as nontruthful
revelation of 3 cost and revenue information (DeJong et al., 1989) and
opportunistic behavior by a dominant division (Burton and Obel, 1988). These
drawbacks may lead to non-Pareto outcomes for the firm as well as divisional
inequities (Ravenscroft, Haka and Chalos 1993, p. 415; italics original).
With our
alternative, workable bargaining structure, which evaluates division management
performance independently of the negotiated transfer price (NTP) for income tax
purposes, autonomous divisions face sufficient incentives to select the
firm-wide optimal TP (on the arm’s length boundary) as well as the optimal
quantity of tangible intra-firm trade. For tangible intrafirm trade, MNCs avoid
taxes, but, given identifiable (near) comparable uncontrolled prices, they
do not
necessarily face powerful incentives to evade taxes. For licensed intangible
transfers under NTPing, however, the nature of intangibles creates a larger
optimal profit shift for a given tax-rate differential, which strengthens
incentives for TPing abuse. Coupled with the typical absence of
publicly-available information on (near) comparable uncontrolled license
transactions, an intangible’s arm’s length range, therefore, provides an
imperfect guideline, a context where incentives for abuse are more likely to
materialize.
Analysis
tools
·
The
Core Synthesis Model TRANSFER PRICING MODEL BASED ON THE RESALE PRICE METHOD
·
Centralized
Decision Making: The Modified Horst (1971) Solution
·
Decentralized
Decision Making: Centralized Transfer Pricing
·
Optimal
Negotiated Transfer Pricing
·
Licensing
Intangible Assets Intra-Firm
Discussion
·
The
Core Synthesis Model TRANSFER PRICING MODEL BASED ON THE RESALE PRICE METHOD
We develop a
core synthesis model to create a common framework within which to review the
relevant core papers’ analyses and results. The MNC owns two divisions, one
operating in the domestic country (country 1) and the other operating in a
foreign country (country 2).
The MNC’s 4
domestic currency-denominated global after-tax profit is
·
Centralized
Decision Making: The Modified Horst (1971) Solution
In Horst (1971),
the MNC faces an import tariff or duty, 2 d , in country 2 on the value of
intrafirm trade, and is horizontally integrated (i.e., division 2 resells 12 X
as its final good 2, which is now 2 X instead of 2 Y ). Division 2 produces
part of 2 X itself (i.e., 22 X ) with a production cost of 22 C , does not
incur a processing cost for the portion of good 2 that it imports from division
1 ( γ2 0 ), and sells good 2 in an imperfectly competitive output market.
Therefore,
·
Decentralized
Decision Making: Centralized Transfer Pricing
In Bond’s (1980)
decentralized MNC, top management chooses the TP (under DDM with centralized
transfer pricing, CTPing) and division managements choose the quantity of
intra-firm trade (and division output). Bond’s (1980) model contains equations
(1'), (2'), and (3') of the core model. Given the centralized TP set by top
management, each division responds by choosing its optimal quantity of the
intra-firm good. The divisions maximize as follows:
·
Optimal
Negotiated Transfer Pricing
discuss
the the domestic divisionalized firm
facing equal tax rates, the mnc facing unequal tax rates, an alternative
approach, private information, bargaining structure, optimal ntping, complete
information not required, allocation of the joint gain, tax law compliance.
·
Licensing
Intangible Assets Intra-Firm
discuss the the nature of intangibles, literature review,
intra-firm licensing of intangible assets.
Conclusion
Under our NTPing
bargaining structure, the modified Horst (1971) CDM outcome emerges
irrespective of an equitable or inequitable joint profit gain allocation
mechanism. Even under an allocation mechanism that depends on bargaining power
where the divisions wield extremely unequal bargaining powers, the relatively
stronger-bargaining division management faces an incentive to offer a
concession that makes the relatively weaker-bargaining division’s performance
evaluation profit at least as much as its non-cooperative performance
evaluation profit. Our bargaining structure, including a separation of
performance evaluation from the NTP
decision,
provides that incentive. By unlinking the NTP decision from the division
management compensation equation, even under incomplete information a
decentralized MNC can achieve the higher after-tax profits equivalent to the
modified Horst (1971) CDM outcome. The separation of performance evaluation
from the NTP decision creates the incentive to select the firm-wide optimal
solution (i.e., a NTP on the upper or lower arm’s length boundary, and the
equilibrium intra-firm quantity). In their negotiations, division managers face
sufficient 38 economic incentives to truthfully share cost and revenue
information, giving them the ability to make firm-wide optimal decisions. Had
we adopted Hansen and Kimbrell’s (1991) and
Vaysman’s (1998)
assumption that the firm evaluates division management performance based on the
same division profit used for tax reporting, the modified Horst (1971) solution
would not obtain. When the NTP depends on relative bargaining positions, no
guarantee exists that the NTP will lie on the arm’s length boundary. Further,
in contrast to Halperin and Srinidhi (1991), resource efficiency (i.e., an
equilibrium intra-firm quantity) would not necessarily occur either, since
fairness comes into play when the NTP depends on bargaining abilities rather
than a
division’s actual
economic contribution to the MNC’s after-tax profit. The relatively
weakerbargaining division, whose quantity decision would be binding, would
maximize its division profit by selecting a lower-than-equilibrium quantity of
intra-firm trade, given an unfair NTP. Should the MNC adopt a fairer mechanism
to allocate the joint gain (e.g., one that will produce an allocation
consistent with the equilibrium TP), the modified Horst (1971) result would not
occur because the NTP—being determined by relative bargaining ability—would not
necessarily
lie on the arm’s
length boundary. For intra-firm licensing of intangibles under our bargaining
structure, we find a greater incentive for MNCs to practice abusive TPing for
intangibles than for a commensurate quantity or value of tangibles (as well as
a greater incentive for governments to engage in tax competition). When zero
marginal cost associates with supplying/licensing additional units of an
intangible, the optimal (i.e., internal equilibrium) quantity of intangible
intra-firm trade exceeds that for tangible intra-firm trade, ceteris paribus.
Therefore, for a given national tax rate
differential,
MNCs confront a larger potential tax savings for each unit of TP adjustment,
creating a stronger incentive to select a NTP outside the arm’s length
boundary. This incentive, 39 coupled with the inexact nature of valuing
intangibles and their arm’s length TPs (royalties), implies that, in practice,
TPing abuse for intangible transfers probably exceeds that for tangible transfers
by a significant amount. Therefore, TPing for intangibles is expected to be a
prominent
issue for tax
authorities, which becomes all the more important as a large portion of
international trade occurs through intra-firm transfers, with an increasing portion
involving intangible assets.